Assalamualaikum Wr Wb.
Tidak terasa sebentar lagi kita bakal ngerasain lebaran haji lagi,dimana nanti bisa di lihat di sekitar masjid atau mushola masing-masing pasti bakal banyak nongkrong sapi-sapi atau kambing-kambing dan domba-domba untuk diqurbankan . Kali ini saya tidak ngepost tentang tugas kuliah dulu. sembari kuliah saya mau coba buat bisnis yang asli beneran dan ga coba buat nipu temen semua. soalnya ini bisnis keluarga dan turun temurun dari HIB (Haerul Islam Bersaudara) perusahaan penjual sapi yang udah lama berdiri dan sudah banyak pengalaman menjual sapi sampai keluar pulau jawa. Dan saya menjual sapi ga sama kaya sapi di pinggir jalan yang cuma bisa diliat dari segi penampilan luar saja dan belum pasti kesehatannya. Saya berani menjual sapi yang berbeda dilihat dari tempatnya sudah jelas saya tempatkan ditempat pemeliharaan langsung dan sudah dapet izin dari depkes setempat. Silahkan hubungi contact person dibawah ini untuk detailnya :
Drs Muzakir sakkaki : 087883536179/085717091560
Harga yang kami tawarkan adalah harga yang sesuai dengan berat timbangan sapi yang temen-temen pilih . saya tidak menipu anda dengan beratnya,temen-temen bisa mengecheck dan datang ke tempat pemeliharaan langsung setelah menghubungi contact diatas supaya tidak terjadi penipuan .Patokan harga yang saya dapat sampai saat ini adalah 49rb/kilo hidup. jangan kaget jika harga yang ditawarkan dipinggir jalan hampir sama akan tetapi timbangan bisa menipu. saya hanya sekedar membantu temen-temen agar tidak tertipu penampilan. jenis sapi yang saya jual sapi bali,sapi limosin,sapi putih dll.Untuk detailnya silahkan hubungi contact person diatas. Trims
Wassalamualaikum Wr Wb
Rabu, 11 September 2013
Selasa, 19 Maret 2013
Tokoh dan Kebudayaan Provinsi Aceh
Cut Nyak Dhien
Cut
Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada
masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara
suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum
pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak
menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan
Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi
karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak
Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan
kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang
bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap
dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.
Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang
ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Budaya Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdiri atas
sembilan suku, yaitu Aceh (mayoritas), Tamiang (Kabupaten Aceh Timur Bagian
Timur), Alas (Kabupaten Aceh Tenggara), Aneuk Jamee (Aceh Selatan), Naeuk Laot,
Semeulu dan Sinabang (Kabupaten Semeulue). Masing-masing suku mempunyai budaya,
bahasa dan pola pikir masing-masing.Bahasa yang umum digunakan adalah Bahasa
Aceh. Di dalamnya terdapat beberapa dialek lokal, seperti Aceh Rayeuk, dialek
Pidie dan dialek Aceh Utara. Sedangkan untuk Bahasa Gayo dikenal dialek Gayo
Lut, Gayo Deret dan Gayo Lues.
Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat Aceh.
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Aneuk Jame, Tamiang dan Semelue. Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu hikayat yang terkenal adalah Perang Sabi (Perang Sabil).
Seni tari Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.Tari-tarian yang ada antara lain Seudati, Saman, Rampak, Rapai, dan Rapai Geleng. Tarian terakhir ini paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman.Dalam bidang seni rupa, Rumoh Aceh merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang berciri kaligrafi. Senjata khas Aceh adalah rencong. Pada dasarnya perpaduan kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni penempaan dan bentuk. Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.
Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke dalam diri masyarakat Aceh.
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Aneuk Jame, Tamiang dan Semelue. Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu hikayat yang terkenal adalah Perang Sabi (Perang Sabil).
Seni tari Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.Tari-tarian yang ada antara lain Seudati, Saman, Rampak, Rapai, dan Rapai Geleng. Tarian terakhir ini paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman.Dalam bidang seni rupa, Rumoh Aceh merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang berciri kaligrafi. Senjata khas Aceh adalah rencong. Pada dasarnya perpaduan kebudayaan antara mengolah besi (metalurgi) dengan seni penempaan dan bentuk. Jenis rencong yang paling terkenal adalah siwah.
Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
Daftar isi |
Budaya Bercocok Tanam
Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan
lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni panglima
uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti petua seuneubôk,
keujruen blang, pawang glé, dan sebagainya.
Dalam sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi petua
seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah
baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian
dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu
memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi
anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi petua seuneubôk
menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap
keujruen blang.
Budaya Membuka Lahan Perkebunan
Bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan
yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat Aceh
juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari
tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah
rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi
anak sungai (alue).
Pamali atau Pantangan
Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah
pantangan saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti
peudong jambô. Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu
ada di setiap lahan. Dalam adat meublang, jambô tidak boleh didirikan di tempat
lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus
penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh
menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena ditakutkan akan mengundang
ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota
suneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul
pohon, dan menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan
dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang
berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun.
Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak
tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat
pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang Aceh kental
keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari
agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau
pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda,
meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan
seuneubôk, mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan, durian,
mangga, dll. walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh.
Larangan tersebut tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di
bumi yang mahaluas ini.
Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah
ketentuan demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Hal ini
seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh
memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan
mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas
hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh keujruen
blang.
*komentar
tambahan mengenai budaya aceh*
Aceh merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang
terkenal di dunia. Karena provinsi ini memiliki aspek sosial dan budaya yang
masih sangat dilestarikan. Salah satu contohnya budaya gotong royongnya.
Walaupun provinsi ini sempat dilanda musibah besar dan bnyak merenggut nyawa
sebagian penduduknya tapi provinsi ini dapat bangkit kembali seperti sedia
kalanya
Selasa, 15 Januari 2013
Kerukunan Umat Beragama
PEMBAHASAN
2.1 Jenis –
Jenis kerukunan antar umat Beragama
- Kerukunan antar pemeluk agama yang sama, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut satu agama. Misalnya, kerukunan sesama orang Islam atau kerukunan sesama penganut Kristen. Kerukunan antar pemeluk agama yang sama juga harus dijaga agar tidak terjadi perpecahan, walaupun sebenarnya dalam hal ini sangat minim sekali terjadi konflik.
- Kerukunan antar umat beragama lain, yaitu suatu bentuk kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama berbeda-beda. Misalnya, kerukunan antar umat Islam dan Kristen, antara pemeluk agama Kristen dan Budha, atau kerukunan yang dilakukan oleh semua agama. Kerukunan antar umat beragama lain ini cukup sulit untuk dijaga. Seringkali terjadi konflik antar pemeluk agama yang berbeda.
2.2 Manfaat
Kerukunan antar umat Beragama
·
Terciptanya suasana yang damai dalam bermasyarakat
·
Toleransi antar umat Beragama meningkat
·
Menciptakan rasa aman bagi agama – agama minoritas
dalam melaksanakan ibadahnya masing masing
·
Meminimalisir konflik yang terjadi yang
mengatasnamakan Agama
2.3 Cara
menjaga kerukunan antar umat Beragama Di Indonesia
- Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari – harinya, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali.
- Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status orang tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka yang kesusahan, kita akan mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan memperkokoh persatuan Indonesia.
- Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk menomor satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati orang lain tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia.
- Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam.
2.4 Kendala
dalam menjaga kerukunan antar umat beragama.
2.4.1 Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag,
salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di
Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance)
sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola
perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut
persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan
mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Karena hal tersebut, yang terjadi dalam
interaksi masing – masing pihak adalah interaksi yang biasa saja, tidak
menyangkut masalah persoalan – persoalan keimanan masing masing pihak.
Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan
satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang
terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya yang
membahas tentang toleransi keimanan. Sehingga dapat menimbulkan sikap
kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, hal ini merupakan salah
satu pemicu konflik yang mengatasnamakan agama.
2.4.2 Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini
terkadang menjadi faktor yang sangat penting sebagai kendala dalam mncapai
tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia sendiri, Politik
merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan beragama di
dalam lingkup masyarakat. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun,
dan dengan demikian kita pun hampir mencapai masyarakat yang ideal. Namun
tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan
mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Hal ini
sering terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia, tetapi lebih dari itu yang
mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang
mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara
tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan
alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
2.4.3 SikapFanatisme
Pandangan-pandangan semacam ini
tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama
tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama
lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif
seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama
gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan
mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini,
hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau
keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte
dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Sikap fanatisme yang berlebihan ini merupakan ancaman yang besar bagi
kelangsungan kerukunan dalam beragama di Indonesia. Sudah banyak contoh kasus
nyata yang disebabkan oleh sikap fanatisme yang berlebihan oleh sekelompok
orang yang mengakui dirinya paling benar. Sikap fanatisme ini sejatinya
dihilangkan dari diri kita masing masing, agar terciptanya masyarakat yang
senantiasa damai
2.5 Persamaaan Membangun Kerukunan Umat
Persamaan Membangun Kerukunan Antar Umat
Beragama. Tidak bisa dibantah bahwa,
pada akhir-akhir ini, ketidakerukunan antar dan antara umat beragama [yang
terpicu karena bangkitnya fanatisme keagamaan] menghasilkan berbagai
ketidakharmonisan di tengah-tengah hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara,
dan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu orang-orang yang menunjukkan diri
sebagai manusia beriman [dan beragama] dengan taat, namun berwawasan terbuka,
toleran, rukun dengan mereka yang berbeda agama. Disinilah letak salah satu
peran umat beragama dalam rangka hubungan antar umat beragama, yaitu mampu
beriman dengan setia dan sungguh-sungguh, sekaligus tidak menunjukkan fanatik
agama dan fanatisme keagamaan. Di balik aspek perkembangan agama-agama, ada hal
yang penting pada agama yang tak berubah, yaitu credo atau pengakuan
iman. Credo merupakan sesuatu khas, dan mungkin tidak bisa dijelaskan
secara logika, karena menyangkut iman atau percaya kepada sesuatu di luar
jangkauan kemampuan nalar manusia. Dan seringkali credo tersebut
menjadikan umat agama-agama melakukan pembedaan satu sama lain. Dari pembedaan,
karena berbagai sebab, bisa berkembang menjadi pemisahan, salah pengertian,
beda persepsi, dan lain sebagainya, kemudian berujung pada konflik.
Di samping itu, hal-hal lain seperti
pembangunan tempat ibadah, ikon-ikon atau lambang keagamaan, cara dan suasana
penyembahan atau ibadah, termasuk di dalamnya perayaan keagamaan, seringkali
menjadi faktor ketidaknyamanan pada hubungan antar umat beragama. Jika semua
bentuk pembedaan serta ketidaknyamanan itu dipelihara dan dibiarkan oleh
masing-masing tokoh dan umat beragama, maka akan merusak hubungan antar
manusia, kemudian merasuk ke berbagai aspek hidup dan kehidupan. Misalnya,
masyarakat mudah terjerumus ke dalam pertikaian berdasarkan agama [di samping
perbedaan suku, ras dan golongan]. Untuk mencegah semuanya itu, salah satu
langkah yang penting dan harus terjadi adalah kerukunan umat beragama.
Suatu bentuk kegiatan yang harus dilakukan oleh semua pemimpin dan umat
beragama.
Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang
yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada
penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan
antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan
golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena
sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup
berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk
mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling
terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih.
Di samping itu, harus terjadi kerukunan intern umat beragama. Hubungan
tak harmonis intern umat beragama pun bisa merusak atau berdampak masyarakat
luas yang berbeda agama. Biasanya perbedaan tafsiran terhadap teks kitab suci
dan pemahaman teologis dalam agama-agama memunculkan konflik serta perpecahan
pada umat seagama. Konflik dan perpecahan yang melebar, bisa mengakibatkan
rusaknya tatanan hubungan baik antar manusia, bahkan mengganggu hidup dan
kehidupan masyarakat luas. Kerukunan dapat dilakukan dengan cara tidak
mengganggu ketertiban umum; tidak memaksa seseorang pindah agama; tidak
menyinggung perasaan keagamaan atau ajaran agama dan iman orang yang berbeda
agama; dan lain-lain
Kerukunan antara umat beragama dan kerukunan intern
umat seagama harus juga seiring dengan kerukunan umat beragama dengan
pemerintah. Pemerintah adalah lembaga yang berfungsi memberlakukan kebaikan
TUHAN Allah kepada manusia; pemelihara ketertiban, keamanan, keadilan, dan
kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam kenyataan kesehariannya, seringkali
terlihat bahwa, pemerintah dengan politik akomodasinya, bukan bertindak
sebagai fasilitator kerukunan umat beragama, tetapi membela salah satu agama
2.6 Trilogi Kerukunan Umat Beragama
Dalam setiap jenjang pendidikan, selalu dikenalkan adanya trilogi
kerukunan umat beragama yang harus dijunjung oleh masing-masing warga negara
Indonesia guna terbentuknya kerukunan, kedamaian, dan terciptanya stabilitas
nasional. Trilogi kerukunan umat beragama itu antara lain adalah:
1. Kerukunan intern umat beragama.
2. Kerukunan antar umat beragama.
3. Kerukunan antar umat beragama
dengan pemerintah.
Hal-hal tersebut diataslah yang menjadi nilai-nilai yang bisa
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat
yang madani, aman dan sejahtera.
Kerukunan intern umat beragama berarti adanya kesepahaman dan kesatuan
untuk melakukan amalan dan ajaran agama yang dipeluk dengan menghormati adanya
perbedaan yang masih bisa ditolerir. Misal dalam islam ada NU, Muhammadiyah,
dsb. Dalam protestan ada GBI, Pantekosta dsb. Dalam katolik ada Roma dan
ortodoks. Hendaknya dalam intern masing-masing agama tercipta suatu kerukunan
dan kebersatuan dalam masing-masing agama.
Kemudian, kerukunan antar umat beragama adalah menciptakan persatuan
antar agama agar tidak terjadi saling merendahkan dan menganggap agama yang dianutnya
paling baik. Ini perlu dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme
ekstrim yang membahayakan keamanan, dan ketertiban umum. Bentuk nyata yang bisa
dilakukan adalah dengan adanya dialog antar umat beragama yang didalamnya bukan
membahas perbedaan, akan tetapi memperbincangkan kerukunan, dan perdamaian
hidup dalam bermasyarakat. Intinya adalah bahwa masing-masing agama mengajarkan
untuk hidup dalam kedamaian dan ketentraman.
Terakhir adalah kerukunan umat beragama dengan pemerintah, maksudnya adalah
dalam hidup beragama, masyarakat tidak lepas dari adanya aturan pemerintah
setempat yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Masyarakat tidak boleh
hanya mentaati aturan dalam agamanya masing-masing, akan tetapi juga harus
mentaati hukum yang berlaku di negara Indonesia. Bahwasanya Indonesia itu bukan
negara agama tetapi adalah negara bagi orang yang beragama.
Tentunya, hal-hal diatas juga bisa diaplikasikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang di dalamnya terdapat beraneka macam suku, agama,
ras dan budaya yang berbeda satu sama lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)